Selasa, 19 Juli 2011
Pengertian Ijtihad : Mengerahkan segenap usaha untuk menarik sebuah istinbath (kesimpulan) mengenai hukum syari’at yang diambil dari dalil-dalil yang komprehensif di dalam syari’at, yaitu dari Qur’an dan Sunnah.

Ijtihad terbagi menjadi dua, yaitu :
  1. Mengambil kesimpulan hukum dari dzahir teks di dalam Qur’an maupun Hadits.
  2. Mengambil kesimpulan hukum berdasar isyarat yang tersirat di dalam teks, dimana terdapat persamaan-persamaan tertentu antara kejadian yang ada di dalam teks dengan yang ada di alam nyata, inilah yang dinamakan Qiyas.
Penarikan kesimpulan dalam menentukan suatu hukum pada masa sahabat terbatas pada fatwa-fatwa yang diberikan untuk menjawab pertanyaan seseorang mengenai suatu kejadian, namun mereka tidak mau berpanjang lebar menjawabnya bahkan mereka membenci hal tersebut.

Mereka tidak pernah mengungkapkan pendapat dan fatwanya hingga yang ditanyakan itu benar-benar pernah (dan mungkin) terjadi. Bila kejadian yang ditanyakan tersebut memang nyata barulah mereka mau berijtihad untuk mencaritahu hukumnya. Itulah mengapa fatwa-fatwa yang bersumber dari para sahabat yang utama itu sangat sedikit jumlahnya. Mereka juga melandaskan fatwa-fatwanya pada :

a)      Al-Qur’an : Dia adalah dasar Islam dan tiang dari agama. Para sahabat mampu memahami Qur’an dengan sangat jelas karena Qur’an itu turun dengan menggunakan bahasa mereka, disamping itu mereka juga sangat memahami sebab-sebab turunnya suatu ayat Qur’an.

b)      Sunnah Rasulullah : Mereka (para sahabat) bersepakat untuk menerima dan mengikuti hadits Rasulullah selama periwayat hadits tersebut dapat dipercaya.

Abu Bakar bila ditanya mengenai hukum dalam suatu kejadian maka dia akan mencari pemecahannya di dalam kitabullah (Qur’an), bila tidak juga menemukannya maka dia akan mencari di dalam Sunnah Rasulullah, Apabila tidak juga menemukan di dalam keduanya maka dia akan bertanya kepada para sahabat.

Dia berkata, “Apakah kalian tahu bahwa Rasulullah pernah menetapkan keputusannya di dalam masalah ini?” Maka dia akan menetapkan hukum dengannya apabila ada diantara mereka yang mengatakan, “Beliau pernah menetapkan seperti ini atau seperti ini.”

Lalu Umar juga melakukan hal tersebut, apabila tidak menemukan pemecahan masalah di dalam Qur’an atau Hadits maka dia akan bertanya kepada sahabat yang lain, “Apakah Abu Bakar pernah memutuskan sesuatu di dalam permasalahan ini?” Jika dia menemukannya maka dia akan memutuskan dengan apa yang telah diputuskan Abu Bakar bila dia tidak mengerti mengenai permasalahan tersebut. Begitu pula sikap yang diambil Utsman dan Ali radiyallahu ‘anhum ajma’in sebagai kehati-hatiannya dalam menerima sebuah pendapat.

Apabila para sahabat ditanyai mengenai suatu permasalahan yang tidak termaktub di dalam Qur’an atau Sunnah maka saat itulah mereka menggunakan Qiyas. Di dalam Qiyas mereka memutuskan masalah dengan menggunakan pendapat atau logika mereka. Seperti itulah sikap Abu Bakar bila tidak menemukan teks di dalam Qur’an maupun Hadits, maka dia akan mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dengan mereka. Apabila mereka bermufakat mengenai suatu hal maka dia akan memutuskan berdasar pendapat tersebut.

Begitu pula sikap yang diambil oleh Umar, maka tatkala dia mengutus Syuraih sebagai Qadhi (hakim) di Kufah dia berkata kepada Syuraih, “Perhatikanlah apa yang kamu ketahui dari Al-Qur’an dan bertanya kepada siapapun mengenainya, apabila tidak jelas bagimu maka ikutilah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila tidak kamu temui juga maka berijtihadlah dengan menggunakan pendapatmu.”

Umar berkata kepada Abu Musa Al-Asy’ari ketika dia ditanya, “Qadha (keputusan hukum) itu apakah bersifat faridhah muhkamah (wajib dengan berijtihad) ataukah sunnah muttaba’ah (harus mengikuti teks sunnah)?” Maka dia berkata, “Dia adalah pemahaman, dia adalah pemahaman mengenai apa yang kamu ragukan, sedangkan kamu tidak mengetahui petunjuk pemecahannya di dalam Qur’an atau Sunnah. Kenalilah dulu seluk beluk permasalahan serta contoh-contoh kasus yang memiliki kesamaan dengannya, lalu lakukanlah Qiyas!”

Abdullah bin Mas’ud pernah ditanya mengenai musyawarah, dia berkata, “Aku menyampaikan berdasar pendapatku, bila dia benar maka datangnya dari Allah. Namun bila salah maka itu bersumber dari diriku dan dari setan, sedang Allah dan Rasul-Nya tidak terkait di dalamnya.”


Bersambung Insyaallah…

Disarikan dari “Tarikhut Tasyri’” Karya Syaikh Khudari Bik.

Sumber: Facebook

0 comments:

Ketika Rasulullah berkunjung ke surga Allah bersama malaikat Jibril, ketika itu Rasulullah mendengar suara yang begitu besar, suara detakan yang membuat beliau bertanya kepada Jibril,"Wahai Jibril, suara siapakah itu?" Malaikat Jibril pun menjawab,"Suara umatmu wahai Rasul Allah". Rasul pun bingung dan bertanya lagi,"Umatku yang bagaimana?" Jibril pun menjawab,"Umatmu yang selalu melangkahkan kakinya ke rumah Allah" Subhanallah.... Anda mau??? FAKTA yang ada: Jarang antara kita bergerak hatinya untuk ke Masjid tuk shalat berjama'ah khususnya para REMAJA yang terlena oleh perasaan dan kesenangan dunia.