Senin, 10 Januari 2011
Masa lalu adalah kenangan yang tak perlu diungkit..
Kadang banyak hal-hal darinya yang menghambat langkah kaki kita kedepan..

Masa lalu kita perlukan sebagai pengalaman.., bukan sebagai penyesalan..

Seringkali masa lalu hanya menjadi sampah saat dia menimbulkan rasa kecewa..
Bahkan dia bisa menjadi virus yang memusnahkan segala harapan manusia..

Masa lalu adalah pelajaran..
Masa lalu adalah pengalaman..

Orang yang selalu melihat sisi negatif masa lalu tanpa melihat masa kini adalah orang yang membutakan dirinya serta berjalan mundur..

Orang yang mengungkit-ungkit kesalahan dimasa lalu adalah pendengki..
Sedangkan yang tidak merasa memiliki kesalahan di masa lalu adalah orang yang sombong..

Keadilan, adalah bila kita menempatkan sesuatu sesuai proporsinya..
Dan tidak membiarkan masa lalu sebagai bagaian dari sejarah untuk berlalu begitu saja tanpa arti..

Mahasuci Tuhan Pemilik Siang dan Malam..

Sumber:
Pesan Group Facebook - Al Rohman - 26 Desember 2010
Kamis, 06 Januari 2011
Pada zaman Rasulullah SAW hiduplah seorang pemuda yang bernama Zahid yang berumur 35 tahun namun belum juga menikah. Dia tinggal di Suffah masjid Madinah. Ketika sedang memperkilat pedangnya tiba-tiba Rasulullah SAW datang dan mengucapkan salam. Zahid kaget dan menjawabnya agak gugup.

"Wahai saudaraku Zahid….selama ini engkau sendiri saja," Rasulullah SAW menyapa.

"Allah bersamaku ya Rasulullah," kata Zahid.

"Maksudku kenapa engkau selama ini engkau membujang saja, apakah engkau tidak ingin menikah…," kata Rasulullah SAW.

Zahid menjawab, "Ya Rasulullah, aku ini seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan wajahku jelek, siapa yang mau denganku ya Rasulullah?"

"Asal engkau mau, itu urusan yang mudah!" kata Rasulullah SAW.

Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan sekretarisnya untuk membuat surat yang isinya adalah melamar kepada wanita yang bernama Zulfah binti Said, anak seorang bangsawan Madinah yang terkenal kaya raya dan terkenal sangat cantik jelita. Akhirnya, surat itu dibawah ke rumah Zahid dan oleh Zahid dibawa kerumah Said. Karena di rumah Said sedang ada tamu, maka Zahid setelah memberikan salam kemudian memberikan surat tersebut dan diterima di depan rumah Said.

"Wahai saudaraku Said, aku membawa surat dari Rasul yang mulia diberikan untukmu saudaraku."

Said menjawab, "Adalah suatu kehormatan buatku."

Lalu surat itu dibuka dan dibacanya. Ketika membaca surat tersebut, Said agak terperanjat karena tradisi Arab perkawinan yang selama ini biasanya seorang bangsawan harus kawin dengan keturunan bangsawan dan yang kaya harus kawin dengan orang kaya, itulah yang dinamakan SEKUFU.

Akhirnya Said bertanya kepada Zahid, "Wahai saudaraku, betulkah surat ini dari Rasulullah?"

Zahid menjawab, "Apakah engkau pernah melihat aku berbohong…."

Dalam suasana yang seperti itu Zulfah datang dan berkata, "Wahai ayah, kenapa sedikit tegang terhadap tamu ini…. bukankah lebih disuruh masuk?"

"Wahai anakku, ini adalah seorang pemuda yang sedang melamar engkau supaya engkau menjadi istrinya," kata ayahnya.

Disaat itulah Zulfah melihat Zahid sambil menangis sejadi-jadinya dan berkata, "Wahai ayah, banyak pemuda yang tampan dan kaya raya semuanya menginginkan aku, aku tak mau ayah…..!" dan Zulfah merasa dirinya terhina.

Maka Said berkata kepada Zahid, "Wahai saudaraku, engkau tahu sendiri anakku tidak mau…bukan aku menghalanginya dan sampaikan kepada Rasulullah bahwa lamaranmu ditolak."

Mendengar nama Rasul disebut ayahnya, Zulfah berhenti menangis dan bertanya kepada ayahnya, "Wahai ayah, mengapa membawa-bawa nama rasul?"

Akhirnya Said berkata, "Ini yang melamarmu adalah perintah Rasulullah."

Maka Zulfah istighfar beberapa kali dan menyesal atas kelancangan perbuatannya itu dan berkata kepada ayahnya, "Wahai ayah, kenapa sejak tadi ayah berkata bahwa yang melamar ini Rasulullah, kalau begitu segera aku harus dikawinkan dengan pemuda ini. Karena ingat firman Allah dalam Al-Qur’an surat 24 : 51. “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan. Kami mendengar, dan kami patuh/taat”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. 24:51)"

Zahid pada hari itu merasa jiwanya melayang ke angkasa dan baru kali ini merasakan bahagia yang tiada tara dan segera pamit pulang. Sampai di masjid ia bersujud syukur. Rasul yang mulia tersenyum melihat gerak-gerik Zahid yang berbeda dari biasanya.

"Bagaimana Zahid?"

"Alhamdulillah diterima ya rasul," jawab Zahid.

"Sudah ada persiapan?"

Zahid menundukkan kepala sambil berkata, "Ya Rasul, kami tidak memiliki apa-apa."

Akhirnya Rasulullah menyuruhnya pergi ke Abu Bakar, Ustman, dan Abdurrahman bi Auf. Setelah mendapatkan uang yang cukup banyak, Zahid pergi ke pasar untuk membeli persiapan perkawinan. Dalam kondisi itulah Rasulullah SAW menyerukan umat Islam untuk menghadapi kaum kafir yang akan menghancurkan Islam.

Ketika Zahid sampai di masjid, dia melihat kaum Muslimin sudah siap-siap dengan perlengkapan senjata, Zahid bertanya, "Ada apa ini?"

Sahabat menjawab, "Wahai Zahid, hari ini orang kafir akan menghancurkan kita, maka apakah engkau tidak mengerti?".

Zahid istighfar beberapa kali sambil berkata, "Wah kalau begitu perlengkapan kawin ini akan aku jual dan akan kubelikan kuda yang terbagus."

Para sahabat menasehatinya, "Wahai Zahid, nanti malam kamu berbulan madu, tetapi engkau hendak berperang?"

Zahid menjawab dengan tegas, "Itu tidak mungkin!"

Lalu Zahid menyitir ayat sebagai berikut, “Jika bapak-bapak, anak-anak, suadara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih baik kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya (dari) berjihad di jalan-Nya. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. 9:24).

Akhirnya Zahid (Aswad) maju ke medan pertempuran dan mati syahid di jalan Allah.

Rasulullah berkata, "Hari ini Zahid sedang berbulan madu dengan bidadari yang lebih cantik daripada Zulfah."

Lalu Rasulullah membacakan Al-Qur’an surat 3 : 169-170 dan 2:154). “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal dibelakang yang belum menyusul mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.(QS 3: 169-170).

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS. 2:154).

Pada saat itulah para sahabat meneteskan air mata dan Zulfahpun berkata, "Ya Allah, alangkah bahagianya calon suamiku itu, jika aku tidak bisa mendampinginya di dunia izinkanlah aku mendampinginya di akhirat."

SUMBER: http://www.facebook.com/note.php?note_id=126271584057496
Senin, 03 Januari 2011
AKIDAH ISLAMIYYAH

Dosen                   : Al-Ustadz Sofwan Abbas, MA
Muqarrar             : Kitab Al-Iman, Muhammad Nu’aim Yasin

Dalam mempelajari akidah, terdapat dua metode yang digunakan. Yaitu metode tradisional dan metode modern.





Metode tradisional ini menggunakan tiga hal sebagai wasilah (alat) pembelajarannya, yang pertama  adalah at-talqin (pendiktean), al-hifdz (hafalan), dan yang terakhir adalah ilmul kalam (filsafat). Dalam metode tradisional ini terdapat banyak kendala yang membuatnya sulit untuk diterapkan, terlebih pada zaman kita sekarang ini. Misalnya saja dominannya penggunaan doktrin tanpa menyertakan dalil berupa sumber nash Qur’an dan hadits. Hal ini membuat seseorang sulit untuk mengambil doktrin langsung dari sumber aslinya.

Sedangkan metode modern menggunakan lima hal sebagai dasar bahan pembelajarannya.

1.       Menggunakan petunjuk dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.
2.       Menggabungkan antara ‘aql (logika / akal) dan naql (nash Qur’an dan Hadits).
3.       Memanfaatkan IPTEK.
4.       Keserasian antara Akal dan Hati.
5.       Mengintregasikan (Menyatukan) dan tidak memisahkan.

Yang pertama metode modern ini langsung mengambil akidah Islam murni dari sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini akan makin memudahkan aplikasi (penerapan) dari nilai-nilai akidah tersebut karena di dalamnya terdapat penjelasan yang rinci dan konkrit. Ibarat air minum pegunungan, apabila air kita ambil dari sumbernya langsung maka akan terasa lebih segar daripada kita meminumnya ketika telah masuk botol kemasan.

Disinilah nilai lebih pembelajaran akidah dengan system modern, yaitu mengambil langsung dari sumbernya dan bukan dari filsafat yang sebagian besarnya malah mengadopsi pemikiran para filsuf non-muslim.

Al-Qur’an dan Hadits itu ibarat gizi dan vitamin yang selalu dibutuhkan oleh tubuh, sedangkan filsafat ibarat obat yang hanya boleh dikonsumsi ketika sakit. Dahulu memang dibutuhkan filsafat ini untuk mengobati penyakit para penganut agama paganisme penyembah berhala untuk mengajaknya kepada Islam. Tapi bila terus menerus digunakan oleh kaum muslimin maka bisajadi filsafat ini hanya akan menjadi racun yang dapat merusak akidah. Oleh karena itu, metode yang menggunakan nash Al-Qur’an maupun hadits itu lebih dapat digunakan kapanpun dan tidak terikat waktu.

Yang kedua, metode modern ini juga menggabungkan antara dalil ‘aqli (logika) dan naqli (nash). Karena akal yang sehat akan menunjukkan nilai kebenaran nash tekstual. Kita ambil contoh pada zaman Rasul. Banyak kaum musyrik Quraisy yang tidak percaya dengan isi teks Al-Qur’an, lalu bagaimana caranya mengajak mereka masuk Islam dan meyakini kebenarannya..???

Nah, disinilah akal sehat berperan sebagai hujjah, bukti, serta dalil yang membuktikan kebenaran Al-Qur’an. Orang-orang Quraisy dahulu mengakui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah orang yang jujur dan tidak pernah berdusta sedikitpun hingga mereka pun menggelarinya Al-Amin (Yang Sangat Terpercaya). Bahkan ketika Rasulullah berteriak memanggil mereka dari bukit Shafa dan bertanya, “Apabila ku katakan kepada kalian bahwa di balik gunung ada sepasukan yang akan menyerang Mekkah, apakah kalian akan percaya?” Maka refleks orang-orang Quraisy membenarkan beliau tanpa pikir-pikir lagi.

Lalu, bagaimanakah Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alahi wasallam, seorang yang sangat terpercaya dan tidak pernah berdusta dalam hidupnya walau untuk hal-hal yang sepele, akan bisa berdusta dalam masalah besar seperti kenabian, wahyu, syurga, dan neraka..???

Dan pada zaman IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) sekarang ini lebih banyak lagi dalil logika yang membenarkan keotentikan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah, Tuhan semesta alam. Hal inilah yang telah membuat banyak ilmuwan dengan rela berpindah agama menjadi seorang Muslim.

Yang ketiga, metode modern ini juga memanfaatkan IPTEK untuk menguatkan akidah Islam. Ini membuktikan bahwa Islam adalah akidah yang berlaku sepanjang masa serta tidak kuno. Islam bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan jati diri dan orosinalitasnya.

Dengan pemanfaatan IPTEK ini akan bisa lebih menguatkan iman dan akidah, karena medan pembahasan IPTEK adalah alam dan segala ciptaan Allah yang ada di dalamnya. Sesuai dengan kaidah yang menyebutkan, “Ciptaan itu menunjukkan adanya pencipta”.

Kita ambil satu contoh bagaimana bagian kecil dari alam itu bisa menjadi dalil dan hujjah. Kita sekarang tidak memungkiri bagaimana canggih dan rumitnya hasil IPTEK ciptaan manusia. Sekarang kita bisa melihat manusia terbang melintasi antar negara, sedang dulu rasanya hal yang seperti ini hanya terlihat seperti mimpi dan omong kosong. Tapi serumit dan sercanggih-canggihnya IPTEK zaman ini, ternyata tidak satu ilmuwan pun yang mampu menciptakan seekor lalat sebagaimana yang telah Allah ciptakan lengkap dengan detailnya yang mengagumkan. Lalu bila IPTEK yang rumit itu saja diciptakan oleh manusia yang cerdas, lalu bagaimana dengan lalat yang sangat luar biasa melebihi kecanggihan IPTEK, apakah lalat itu tercipta dengan sendirinya…??? Tentu akal yang masih sehat akan mengatakan dengan tegas.., “Mana mungkin…!”

Yang keempat, metode modern ini mengedepankan keserasian antara akal dan hati. Karena kedua hal ini adalah alat ukur dan barometer yang digunakan manusia untuk merasakan kebenaran. Kita ambil satu contoh bagaimana Al-Qur’an mengkorelasikan antara akal pikiran dan hati, seperti di dalam ayat berikut :

“Dan sesungguhnya Kami jadikan isi neraka Jahannam itu kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)...” (QS. Al-A’raf : 179)

Bagaimana Allah mengaitkan ‘hati’ yang Dia berikan dengan aktifitas ‘memahami’ yang merupakan pekerjaan akal. Dengan kata lain, ternyata hati juga salah satu parameter yang harus digabungkan dengan akal. Karena akal tanpa hati hanya akan menyesatkan pikiran. Kita bisa lihat contohnya terpapar luas di hadapan kita. Bagaimana para pemikir yang mendukung teori revolusi darwinisme mati-matian membela akal pro etheisnya itu. Mereka bilang manusia itu adalah hasil revolusi dari kera, lantas saya bertanya kepada saudara-saudara sekalian, siapakah diantara kalian yang setuju dan mau dbilang kera…??

Keimanan dengan akal dan hati akan menjauhkan manusia daripada kesesatan taklid ataupun kemunafikan. Iman itu sendiri terbagi menjadi dua, yaitu iman quli (secara tersurat) dan iman ‘amali (secara tersirat). Iman secara tersurat yaitu pengakuan secara lisan dengan bersyahadat yang sesuai dengan suara hati (hati membenarkan ucapannya). Karena ucapan syahadat tanpa pembenaran hati adalah sebuah kemunafikan, dan pembenaran tanpa ikrar syahadat adalah sebuah keraguan. Sedangkan Iman itu adalah keyakinan yang mantap dan tak diselubungi keraguan serta kemunafikan.

Lalu iman secara tersirat yaitu proses pembuktian ikrar syahadat di dalam amal kehidupan sehari-hari. Seorang yang yakin di dalam hatinya lalu diucapkan dengan ikrar, maka dia juga harus membuktikan ikrarnya itu di dalam amal nyata. Sebagaimana pengertian iman yang mahsyur di kalangan para ulama, bahwa iman adalah apa yang dibenarkan di dalam hati, diucapkan (diikrarkan) dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota tubuh.

Amal ini terbagi dua, yaitu amalan hati, serta amalan anggota tubuh. Amalan hati seperti niat, cinta, sedih, takut, harap, dan lain sebagainya. Dan amal yang dikerjakan dengan anggota tubuh seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an dan sebagainya.



IMAN KEPADA ALLAH

Iman kepada Allah mengandung tiga makna :
A.      Keyakinan yang kokoh dan mantap bahwa Allah adalah Rabb (Tuhan) semesta alam.
B.      Keyakinan yang kokoh dan mantap bahwa Allah saja yang berhak untuk disembah dan diibadahi.
C.      Keyakinan yang kokoh dan mantap bahwa Allah itu memiliki sifat-sifat yang sempurna dan terbebas daripada segala sifat cacat dan kekurangan.

Tiga makna inilah yang menyusun dan membagi jenis-jenis tauhid menjadi tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, dan tauhid asma’ wa shifaat. Kita akan bersama membahas lebih rinci ketiga jenis tauhid tersebut.

1.       Tauhid Rububiyyah

Tauhid jenis pertama adalah tauhid Rububiyyah, maknanya adalah : Keyakinan yang kokoh dan mantap bahwa ALLAH adalah RABB (TUHAN) semesta alam dan tidak ada Tuhan selain Dia.

Kuatnya keyakinan ini tergantung pada kuatnya dalil, yaitu dasar alasan mengapa seseorang beriman. Semakin kuat dasar yang membuat dia beriman, maka akan semakin kuat pula iman yang dihasilkan dari dasar tersebut.

Ada beberapa pengertian Rabb, diantaranya adalah pencipta, yang menghidupkan, yang mematikan, yang memberi rizki, yang menguasai, dan lain sebagainya. Jadi bermakna, Allah adalah pencipta dan tidak ada yang menciptakan selain Allah. Allah adalah yang menghidupkan serta tidak ada yang menghidupkan selain Dia. Allah adalah yang memberi rizki, dan tidak ada yang bisa memberi rizki kepada makhluk selain Dia. Allah adalah penguasa alam semesta serta tidak ada yang memiliki kekuatan kecuali Dia.

Barangsiapa yang mengakui bahwa ada Tuhan lain yang menciptakan selain Allah, maka dia telah berbuat syirik, menyekutukan Allah dengan makhluk. Barangsiapa yang percaya bahwa ada kekuatan lain di samping kekuatan Allah yang menyamai kekuatan-Nya, maka dia telah berbuat syirik. Barangsiapa mengakui ada yang memberi dia kenikmatan dan rizki selain Allah, maka dia telah berbuat syirik. Begitu seterusnya.

Tauhid rububiyyah ini adalah asas dan pondasi dari dua jenis tauhid lainnya. Kenapa? Karena bagaimana mungkin ada orang yang mau menyembah tuhan yang tidak dia yakini memiliki kekuatan dan kekuasaan? Bagaimana mungkin pula ada orang yang mau mengakui tuhan bila tuhan itu tidak terlepas daripada sifat-sifat kecacatan atau kekurangan.

2.       Tauhid Uluhiyyah

Tauhid kedua adalah tauhid uluhiyyah, maknanya adalah : Keyakinan yang kokoh dan mantap bahwa ALLAH adalah satu-satunya TUHAN yang berhak untuk DIIBADAHI, serta tidak ada selain-Nya yang berhak untuk disembah dan diibadahi.

Tauhid ini disebut juga tauhid niat dan tujuan. Karena di dalam tauhid ini mengandung pemurnian niat di dalam ibadah kepada Allah. Bukan karena riya, bukan karena ingin dipuji atau ingin mendapatkan hal-hal lainnya diatas tujuannya untuk mendapatkan keridhaan Allah.

Uluhiyyah berasal dari dua kata, yang pertama adalah Al-Walah yang bermakna tempat bergantung. Dan yang kedua adalah Al-ilahah yang bermakna ibadah. Bila kita renungi mengenai makna tauhid uluhiyyah ini terkandung di dalam surat Al-Ikhlas :

“Katakanlah : Dialah Allah yang maha tunggal. Allah adalah tempat bergantung. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya.” (QS. Al-Ikhlas : 1-3)

Tauhid Uluhiyyah ini mengandung intisari dari dua tauhid lainnya. Karena dengan memurnikan ibadah kepada-Nya itu sama saja kita telah mengakui Allah sebagai Rabb semesta alam. Bagaimana mungkin kita mau menyembah Tuhan yang tidak kita akui kekuasaannya..?

Di dalam ibadah itu pula kita mengikrarkan dan memuji sifat-sifat kesempurnaan Allah (asma’ wa shifaat). Ketika rukuk misalnya, kita berdoa, “Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung, dan segala puji bagin-Nya” atau ketika sujud, “Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi, serta segala puji bagi-Nya.”, serta lain sebagainya.

Orang yang memurnikan ibadahnya kepada Allah, maka di dalam hatinya akan terpupuk bibit ikhlas, cinta kepada dan karena Allah, rasa takut akan adzab-Nya, tawakkal (berserah diri) kepada-Nya, serta doa yang tulus.

Di tauhid inilah orang-orang musyrik Quraisy pada zaman Rasulullah tergelincir. Mereka sebenarnya mengakui bahwa Allah lah satu-satunya Rabb dan pencipta alam raya beserta segala isinya. Namun disamping itu mereka juga menyembah selain Allah berupa berhala-berhala dari batu dan kayu.

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, niscaya mereka menjawab: ‘Allah’. Katakanlah: ‘Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru (sembah) selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku." Kepada-Nya lah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” (QS. Az-Zumar : 38)

Orang-orang kafir Quraisy itu mengakui Allah sebagai Rabb, satu-satunya Rabb semesta alam. Namun disamping itu mereka menyembah batu dan kayu, (sebagaimana pada zaman sekarang ada yang menyembah kuburan para wali dengan alasan yang sama) dengan alasan agar batu dan kayu itu mendekatkan mereka kepada Allah, sebagaimana termaktub di dalam Qur’an :

“Dan orang-orang yang mengambil pelindung (tempat bergantung) selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya." (QS. Az-Zumar : 39)

3.       Tauhid Asma’ wa Shifat

Tauhid ketiga bermakna : Keyakinan yang kokoh dan mantap bahwa hanya Allah satu-satunya yang memiliki sifat-sifat yang kesempurnaan dan terbebas daripada segala sifat cacat dan kekurangan.

Tauhid ini dilakukan dengan menetapkan dan meyakini segala asma’ (nama-nama) dan sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya di dalam Qur’an dan Hadits. Tanpa melakukan tasybih (penyerupaan), tahrif (perubahan dan penggantian makna), ta’thil (pengosongan makna), dan takyif (mencari tahu detailnya). Hal-hal ini adalah hal yang dapat merusak tauhid asma’ wa shifaat. Kita akan jelaskan secara ringkas pada tempatnya, insyaallah.

Dalam tauhid asma’ wa shifaat ini terdapat tiga kaidah dasar dalam beriman kepada sifat-sifat Allah.

1)      Mensucikan Allah daripada tasybih (penyerupaan) terhadap makhluk.

“..Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syura : 11)

Di dalam ayat tersebut terdapat keterangan bahwa Allah itu melihat dan juga mendengar, namun pendengaran dan penglihatan Allah tidak sama seperti penglihatan makhluk. Karena makhluk melihat dengan dua mata serta mendengar dengan dua telinga. Akan tetapi, bagaimana dengan penglihatan dan pendengaran Allah? Hanya Dia sendirilah yang mengetahui hal ini, sedang hamba-hamba-Nya itu lemah dan tidak mengetahui hal ini.

“..Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya..” (QS. Al-Baqarah : 255)

Hakikat pendengaran dan penglihatan antara Allah dan makhluk itu tidak pernah sama, hal ini dipertegas di dalam firman Allah, “Dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya.” (QS. Al-Ikhlas : 3)

Setiap sifat Allah dan sifat makhluk yang serupa secara lafadz di dalam syari’at, maka tidak serupa di dalam makna hakikinya. Keserupaan antara keduanya hanya terbatas pada kemiripan lafadz. Misalnya ayat-ayat berikut :

“..Tangan Allah berada di atas tangan-tangan mereka (para sahabat nabi)..” (QS. Al-Fath : 10) Kemiripan antara lafadz ‘tangan Allah’ dan ‘tangan mereka’ (makhluk), namun secara makna hakiki (makna sebenarnya), kedua hal ini berbeda.

“Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat dalam keadaan berbaris-baris.” (QS. Al-Fajr : 22) Lafadz ‘datang’ disini berbeda dengan makna hakiki daripada proses datangnya makhluk. Hanya Allah lah yang Maha Mengetahui sedang kita semua lemah dan tidak memahami.

Hakikat sifat itu berbeda sesuai dengan perbedaan benda atau hal yang disifati. Contohnya saja, wanita cantik dan gol cantik pada permainan sepakbola.

Dua-duanya memang sama secara lafadz, yaitu ‘cantik’. Tapi secara hakikat gol cantik dan wanita cantik itu jauh berbeda. Bila wanita cantik itu identik dengan kulitnya yang halus, dan parasnya yang menawan, namun gol cantik malah sebaliknya. Gol cantik itu identik dengan kesan kasar, keras, dan cerdas. Tentu akan berbeda lagi bila kita rubah bendanya menjadi siasat yang cantik, atau cantk-cantik yang lain.

2)      Beriman dan yakin sepenuhnya terhadap sifat-sifat dan nama-nama Allah yang dijelaskan di dalam Qur’an dan Sunnah.

Maksud dari kaidah ini adalah mencukupkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang diterangkan di dalam Qur’an atau Hadits serta tidak menambah-nambahnya.

Misalnya saja, ada yang menyebut Allah sebagai ‘Sang Arsitek’, ‘Sang Pembangun’, atau ‘Sang Tabib’ (dokter). Hal ini tidak dibenarkan karena nama ‘Sang Tabib’ ataupun nama-nama ini tidak pernah disebutkan oleh Allah Ta’ala maupun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun Allah memiliki nama lainnya yang boleh digunakan, yaitu ‘As-Syaafi’ (penyembuh) sebagaimana doa ruqyah yang diajarkan Rasulullah,

"إِشْفِ أَنْتَ الشَّافِي, لَا شَافِيَ إِلَّا أَنْتَ...."
“Sembuhkanlah ya Allah, Engkau Maha Penyembuh. Tidak ada yang dapat menyembuhkan (penyakit) selain Engkau….”

Malahan, bila kita menamai Allah dengan nama ‘Sang Tabib’ itu sama saja kita mensifati Allah dengan sifat kekurangan. Sudah berapa kali kita mendengar berita seorang dokter yang malpraktek ataupun gagal mengobati pasiennya. Juga seorang arsitek yang salah membuat sketsa bangunan sehingga menyebab bangunannya rapuh. Namun Allah (Maha Suci Allah) terbebas dari sifat-sifat cacat seperti itu.

Allah berfirman, “Katakanlah: ‘Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah yang lebih mengetahui’.” (QS. Al-Baqarah : 140)

Ilmu pengetahuan tentang sifat-sifat Allah ini didapat melalui pendengaran (ayat Qur’an atau hadits), bukannya penglihatan. Wallahu a’lam.

3)      Tidak mencari tahu detail sifat-sifat ini secara indrawi.

Allah melarang seseorang untuk mencaritahu (takyif) detail sifat-sifatNya karena bila kita mencaritahu detail sifat Allah, itu sama saja kita mencaritahu detail wujud Allah. Padahal tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang mampu mengindra dzat Allah, dan bahkan manusia dilarang untuk itu. Namun Allah menjanjikan kepada para ahli syurga bahwa di dalam syurga nanti Allah akan memberikan mereka puncak kenikmatan yaitu bertemu dan melihat-Nya.

Kita mungkin pernah mendengar ada orang yang mengatakan, “Hati-hati, belajar agama jangan terlalu dalam. Nanti bisa gila..!” Lantas, benarkah isi pernyataan ini..??? Maka kita jawab dengan tegas, “Tidak ada orang yang gila karena belajar agama. Yang ada malah mereka yang tambah cerdas setelah menghafal Qur’an, tambah kuat pikirannya setelah aktif d pengajian..!!”

Pada kasus pertama, sebenarnya bukan agama yang mereka pelajari, melainkan mereka mencari tahu hakikat dzat Allah Ta’ala, pantas saja mereka jadi gila (wal ‘iyyadzu billah). Kasus ini terjadi di tengah beberapa kelompok sufi yang nyeleneh. Mereka nekad mencoba mengindra dan mencari tahu dzat Allah, juga detail sifat-sifat Allah. Akhirnya mereka menjadi gila karena akal mereka tidak mampu menangkapnya. Mereka menganggap sedang belajar ‘hakikat’ tapi pada dasarnya mereka sebenarnya malah belajar untuk mencerna sesuatu yang tidak mampu mereka cerna. Pantas saja Allah melarang kita daripada hal tersebut.

Kita dilarang untuk bertanya dan mencaritahu tentang detail sifat Allah. Misalnya saja sifat Allah pada ayat berikut :

“Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy.” (QS. Taha : 5)

Para ‘Ulama terdahulu memberikan sebuah jawaban singkat ketika mereka ditanya mengenai detail dari sifat ini (bagaimana cara Allah bersemayam?), mereka berkata : “Kata ‘bersemayam’ itu bisa dimengerti (secara umum), sedang tata cara bersemayam itu tidak diketahui. Beriman kepadanya adalah wajib, dan bertanya mengenainya adalah bid’ah” (bid’ah = mengada-ada)

Ada sebuah kaidah tambahan yang diberikan para Ulama mengenai hal ini :

اَلْعَجْزُ عَنْ دَرْكِ الْإِدْرَاكْ إِدْرَاكٌ * وَالْبَحْثُ عَنْ كُنِّهِ ذَاتِ الله إِشْرَاكٌ

Ketidakmampuan untuk mengetahui adalah sebuah pengetahuan…
Sedangkan mencaritahu dzat Allah adalah kesyirikan…

Begitupula kita dilarang untuk menyerupakan sifat Allah dengan bahasa isyarat. Misal menerangkan bahwa Allah bersemayam, dia memang tidak menjelaskan tatacara bersemayamnya Allah, namun dia malah memberi isyarat gerakan duduk diatas kursi. Itu sama dengan menyerupakan sifat Allah dan sifat manusia.

Perusak Tauhid Asma’ wa Shifaat

Tasybih (Penyerupaan), yaitu menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk, atau menyamakan sifat makhluk sama seperti sifat Allah.

Menyerupakan sifat makhluk seperti sifat Allah : Yaitu kita mensifati seseorang dengan sifat yang khusus untuk Allah Ta’ala. Misalkan saja menamai seseorang dengan Ar-Rahman (yang maha pengasih) atau mensifati seseorang dengan ‘mengetahui hal yang ghaib’, padahal Allah sudah tegaskan di dalam Qur’an, “Katakanlah: ‘Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’.” (QS. An-Naml : 65)

Sedang dengan menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk, itu sama saja dengan kita mensifati Allah dengan sifat cacat dan kurang yang dimiliki oleh makhluk.

Kedua hal tersebut adalah perusak tauhid Rububiyyah.

Tahrif, yaitu mengganti dan merubah makna sifat Allah yang disebutkan di dalam Al-Qur’an maupun hadits.

Perbuatan ini banyak dlakukan oleh orang-orang mu’tazilah (salah satu madzhab yang menyimpang dari akidah ahlus sunnah), mereka mengganti dan merubah ayat-ayat Allah agar tidak menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka memang tidak terjebak dalam tasybih menyerupakan sifat Allah dengan makhluk, namun sayang mereka gugur di bagian ini.

Misalkan saja firman Allah, “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan sebenar-benarnya.” (QS. An-Nisa : 164) Mereka (mu’tazilah) mengatakan, “Berbicara (dengan lisan) itu adalah sifat manusia (sedangkan pada ayat ini disebutkan bahwa Allah berbicara), dan tidak mungkin Allah menyerupai sifat makhluk.” Oleh karena itu mereka merubahnya menjadi, “Dan Musa telah berbicara kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” Menjadi Musa yang berbicara, bukannya Allah.

Sedangkan sikap ahlus sunnah dalam hal ini sudah jelas, bahwa Allah itu berbicara, dan kita bisa memahami kata ‘bicara’ itu secara umum. Namun berbicaranya Allah tidak sama dengan makhluk. Kita semua wajb mengimaninya sepenuh hati dan dlarang untuk bertanya mengenai detail hal ini. Kenapa? Karena kita tidak akan mampu untuk memahaminya, selain itu hal ini juga tidak bermanfaat bagi kita. Masih banyak hal berguna lain yang harus dilakukan ketimbang bertanya mengenai suatu hal yang tidak mungkin dicerna.

Ta’thil, yaitu mengosongkan makna dari sifat dan nama Allah yang disebutkan di dalam Qur’an atau hadits.

Ta’thil ini juga dilakukan oleh sebagian mu’tazilah. Agar tidak menyerupakan sifat Allah dengan makhluk dan tidak merubah-rubah sifat Allah yang ada di dalam Qur’an, akhirnya mereka mengatakan, “Kata ‘Allah berbicara’ (di dalam ayat) itu tidak memiliki makna.”

Tentu saja hal ini tidak benar, di dalam Qur’an jelas dan gamblang disebutkan, “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Ali-Imran : 191)

Takyif, yaitu bertanya mengenai criteria atau detail sifat Allah yang ada di dalam Qur’an atau hadits. Untuk takyif ini telah kita bahas sebelumnya.

-ASA-

Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150333331195258
Ketika Rasulullah berkunjung ke surga Allah bersama malaikat Jibril, ketika itu Rasulullah mendengar suara yang begitu besar, suara detakan yang membuat beliau bertanya kepada Jibril,"Wahai Jibril, suara siapakah itu?" Malaikat Jibril pun menjawab,"Suara umatmu wahai Rasul Allah". Rasul pun bingung dan bertanya lagi,"Umatku yang bagaimana?" Jibril pun menjawab,"Umatmu yang selalu melangkahkan kakinya ke rumah Allah" Subhanallah.... Anda mau??? FAKTA yang ada: Jarang antara kita bergerak hatinya untuk ke Masjid tuk shalat berjama'ah khususnya para REMAJA yang terlena oleh perasaan dan kesenangan dunia.