Kamis, 24 Maret 2011
Menjadi kaya, mungkin itu adalah impian banyak sekali orang. Entah itu kaya secara meterial, maupun kaya secara spiritual, apalagi kaya kedua-duanya, ia sudah menjadi magnet dengan daya tarik yang demikian besar. Lebih dari delapan puluh persen energi manusia habis terkuras untuk meraih ini semua. Bahkan, tidak sedikit manusia yang menghabiskan hampir seluruh hayatnya hanya untuk menjadi kaya. Dan tidak ada satupun manusia waras yang bercita-cita untuk menjadi miskin.

Di tengah arus deras pencaharian seperti ini, dalam renungan-renungan keheningan kadang terpikir, adakah manusia yang tidak pernah miskin ? Ya sejak lahir sampai dengan meninggal, ia tidak pernah mengalami kemiskinan. Kalau orang seperti itu ada, betapa beruntungnya dia. Lama sempat saya mencari orang-orang yang tidak pernah miskin ini. Dari sekian desa dan kota yang sempat saya kunjungi. Entah di negeri sendiri,
atau di negeri orang, sungguh teramat sulit menemukannya. Ada yang lahir serta besar di keluarga kaya secara materi, namun merasa diri paling miskin di dunia. Sebab, selalu membandingkan dirinya dengan orang lain yang lebih tinggi. Ada juga yang lahir dan tumbuh di keluarga yang kaya secara spiritual, tetapi menyesali kehidupan materinya yang serba kekurangan.

Setelah hampir lelah mencari, ternyata Tuhan masih memberikan kesempatan pada saya untuk menemukan manusia jenis langka ini. Dan ia muncul melalui jendela (baca : buku) yang dihasilkan oleh Alexander
Simpkins dan Annellen Simpkins. Dalam karya mereka yang berjudul Simple Taoism, kedua penulis jernih ini mengutip pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh seorang murid kepada Yang Chu tentang the correct course for life. Dalam jawaban sederhana namun mendasar Yang Chu berargumen meyakinkan : ‘those
who are good at enjoying life are not poor’.

Dengan kata lain, manusia-manusia yang tidak pernah miskin, sedikit kaitannya dengan tingkatan material maupun spiritual seseorang, melainkan lebih pada seberapa baik dan seberapa bisa ia menikmati dan  mensyukuri hidupnya. Begitu kemampuan menikmati dan mensyukuri terakhir melekat dalam pada kehidupan
seseorang, maka masuklah ia dalam kelompok manusia yang tidak akan pernah miskin.

Bagaimana bisa disebut miskin kalau pada tingkatan penghasilan dan kehidupan manapun ia hanya mengenal kata syukur, syukur dan syukur. Di tahapan-tahapan awal, syukur memang memerlukan pembanding, terutama pembanding yang lebih rendah. Akan tetapi, dalam pemahaman yang lebih mendalam, syukur adalah syukur. Ia tidak lagi memerlukan pembanding.

Orang sehat memerlukan pembanding orang sakit. Manusia naik motor memerlukan pembanding mereka yang berjalan kaki. Mereka yang telah bekerja perlu menoleh ke sahabat yang masih menganggur. Kita yang
bisa bernafas bebas perlu menoleh ke orang yang bernafas dengan membeli gas bantuan. Rekan yang telah memiliki rumah perlu kadang-kadang merasakan orang-orang yang mengontrak rumah.

Bahayanya, di tingkat serba membandingkan seperti ini, kualitas rasa syukur akan berkurang drastis begitu pembandingnya adalah mereka yang telah sampai di tataran yang lebih tinggi. Oleh karena alasan inilah, maka saya mengajak Anda untuk hidup dengan rasa syukur tanpa perlu kehadiran pembanding. Sekali lagi, syukur adalah syukur. Anda adalah Anda, saya adalah saya. Tidak mudah tentunya, terutama karena ia memerlukan kemampuan mengelola tubuh dan khususnya panca indera yang meyakinkan.

Saya tidak tahu, bagaimana Anda melakukannya. Dalam banyak kesempatan, selalu saya usahakan untuk mendidik panca indera. Sebagai pria normal, mata saya juga mengagumi wanita cantik. Cuman, ia hanya
saya biarkan menoleh wanita cantik beberapa detik saja. Mulut saya juga menyukai rasa enak, cuman sudah lama saya didik untuk makan secukupnya saja. Telinga saya juga suka kabar baik dan musik-musik indah. Namun, kalau yang datang adalah kabar buruk, atau musik yang tidak pas dengan selera, tetap diupayakan untuk menikmatinya.

Dalam sebuah kesempatan terbang ke Bali sana, kebetulan duduk di sebelah saya seorang rekan pengusaha kaya yang tinggal di Jakarta. Banyak percakapan kapitalis yang kami lakukan dalam penerbangan satu setengah jam ini. Dari mencari dan menemukan peluang bisnis, bagaimana kaum profesional sebaiknya
dikelola, sampai dengan masa depan ekonomi politik negeri ini. Karena demikian akrabnya percakapan, sampai-sampai ia menemani saya menemukan penjemput saya di Bandara.

Berbeda dengan sahabat pengusaha tadi yang dijemput dengan Limousine, saya kebetulan hari itu dijemput oleh seorang keluarga dari desa yang hanya membawa sebuah Toyota kijang tua dengan bak terbuka. Jangan tanya AC, kacanyapun bisa dibuka dengan upaya khusus. Melihat mobil jemputan seperti
ini, pengusaha tadi menawarkan Limousine-nya. Dan saya tolak halus sambil mengucapkan terimakasih.

Saya tidak tahu apa cerita pengusaha tersebut setelah kejadian ini. Namun, beberapa waktu kemudian di kesempatan lain di Jakarta, pengusaha yang sama masih bersedia bertutur dengan kualitas keakraban yang tidak menurun. Ini semua meyakinkan saya, kualitas kita sebagai manusia terkait erat dengan kualitas
rasa syukur yang kemudian memancar dari dalam ke luar. Sebuah kesadaran yang diharapkan bisa membawa saya menjadi manusia tidak pernah miskin.

0 comments:

Ketika Rasulullah berkunjung ke surga Allah bersama malaikat Jibril, ketika itu Rasulullah mendengar suara yang begitu besar, suara detakan yang membuat beliau bertanya kepada Jibril,"Wahai Jibril, suara siapakah itu?" Malaikat Jibril pun menjawab,"Suara umatmu wahai Rasul Allah". Rasul pun bingung dan bertanya lagi,"Umatku yang bagaimana?" Jibril pun menjawab,"Umatmu yang selalu melangkahkan kakinya ke rumah Allah" Subhanallah.... Anda mau??? FAKTA yang ada: Jarang antara kita bergerak hatinya untuk ke Masjid tuk shalat berjama'ah khususnya para REMAJA yang terlena oleh perasaan dan kesenangan dunia.