Senin, 07 Maret 2011
Kata "Tarbiyah" berakar pada "rabb" yang berarti "mengasuh, mendidik, menumbuhkan, mengatur". Kata ini juga serumpun dengan "rabbun" yang sering diartikan "Tuhan". Di dunia pendidikan, kata "Tarbiyah" identik dengan terjemahan "pendidikan" itu sendiri.

Berbeda dengan "ta'lim" yang berarti pengajaran. Kata "ta'lim" memuat intisari "ilmu" sehingga pengajaran atau taklim itu adalah proses transfer ilmu! Meski demikian, antara kata "tarbiyah" dan "ta'lim" selalu berinteraksi dan tidak bisa dipisahkan. Sebab, selain telah menjadi konotasi bahasa, keduanya memiliki benang merah yang berkorelatif. Artinya, proses pendidikan mau tidak mau harus diikuti juga dengan proses transfer ilmu. Sebaliknya, pendidikan harus membuat peserta didik berilmu. Maka, benar bila ungkapan: "al-ilmu bit-ta'allum", ilmu itu harus dengan belajar menuntut ilmu!

Tampaknya, kita memang perlu kembali memahami makna tarbiyah secara kaffah dengan melihat hakikatnya. Bila tarbiyah itu memang semakna dengan "rabbun" atau "Tuhan", maka pada garis finis proses tarbiyah juga harus bermuara pada makrifat terhadap Tuhan. Jadi, pendidikan yang kering akan nilai-nilai agama, yang tidak mengantarkan peserta didik pada makrifatullah, ia tidak pantas disebut dengan "Tarbiyah". Dengan kata lain, pendidikan itu gagal total!

Apabila "Tarbiyah" hanya berkutat pada hal-hal teknis seperti: pembuatan RPP, desain silabus, kontrak kuliah, presensi siswa, strategi belajar-mengajar, pemanfaatan media, workshop kurikulum, dan seterusnya, maka meski semua hal itu memang diperlukan karena semuanya adalah bagian dari "syariat tarbiyah", tapi pada hakikatnya, semua pernik-pernik pendidikan itu, sekali lagi, harus berakhir pada totalitas penghambaan terhadap Allah. Bila orientasi ini tidak ada, maka tarbiyah yang dijalankan harus segera di-rekonstruksi ulang karena telah kesalahan fatal di dalamnya. Bila hal ini tidak segera dilakukan, akibatnya akan terjadi "malapraktek pendidikan". Dan, indikasi terhadap penyimpangan ini, sesungguhnya telah mewabah dimana-mana.

Apabila pendidikan, entah dengan istilah tarbiyah atau taklim, tidak berpijak pada tauhid dan tidak bermuara pada makrifat, maka ilmu yang ditransfer oleh guru yang lalu diserap oleh peserta didiknya hanya akan menjadi lumbung ilmu yang kering tanpa hikmah. Ketika ilmu itu menggunung dan pada saat yang sama, ruhani sang penuntut ilmu masih labil karena tidak berpijak pada landasan agama secara kuat, maka pada saatnya tiba, ia akan semakin menjauh dari Allah. Inilah bencana paling berbahaya di dunia pendidikan. Jadi benar, bila Nabi bersabda, "Siapa yang ilmunya bertambah, tapi hidayahnya tidak, maka ia akan semakin bertambah jauh dari Allah".

Program-program pendidikan yang hanya menunjukkan citra belaka dan berorientasi pada proyek semata, sudah seharusnya dikritisi dan disadarkan. Lembaga pendidikan yang dalam proses belajar-mengajarnya hanya ingin mengais keuntungan materi, pada akhirnya akan jatuh juga. Sebab, lulusannya hanya akan menjadi "sampah" yang merusak tatanan pendidikan dan kemasyarakat. Maka, jangan heran, bila pendidikan selalu disalahkan ketika di tengah masyarakat terjadi penyimpangan moral. Itu karena memang tugas utama pendidikan adalah pembentukan moral berilmu yang agamis agar peserta didiknya menjadi "alim rabbani".

Sumber: Catatan Taufiq El-Rachman

0 comments:

Ketika Rasulullah berkunjung ke surga Allah bersama malaikat Jibril, ketika itu Rasulullah mendengar suara yang begitu besar, suara detakan yang membuat beliau bertanya kepada Jibril,"Wahai Jibril, suara siapakah itu?" Malaikat Jibril pun menjawab,"Suara umatmu wahai Rasul Allah". Rasul pun bingung dan bertanya lagi,"Umatku yang bagaimana?" Jibril pun menjawab,"Umatmu yang selalu melangkahkan kakinya ke rumah Allah" Subhanallah.... Anda mau??? FAKTA yang ada: Jarang antara kita bergerak hatinya untuk ke Masjid tuk shalat berjama'ah khususnya para REMAJA yang terlena oleh perasaan dan kesenangan dunia.