Kamis, 02 Desember 2010
PENYAKIT 3 – Memanggil Dengan Gelaran Yang Buruk

”…dan janganlah memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Memburuk-burukkan panggilan adalah perbuatan fasik sesudah keimanan. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat (dari hal-hal tersebut) maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Hujurat : 11)

Allah juga melarang seseorang untuk memanggil saudaranya dengan panggilan-panggilan yang buruk, karena hal itu bisa melukai perasaan dan harga diri seorang Muslim. Disamping itu, panggilan bisa juga berarti doa, sehingga bla dia memanggil orag dengan panggilan yang buruk itu sama saja dia mendoakan saudaranya dengan keburukan.

Sama seperti kasus pertama, yaitu saling merendahkan. Kadangkala ada yang memanggil saudaranya dengan ejekan hanya untuk bercanda, namun malah menyinggung perasaan. Itulah karena tindakan yang tidak dipikirkan dulu baik dan buruknya. Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “Orang Islam manakah yang paling baik?” Rasulullah menjawab, “Orang yang kaum muslimin itu selamat dari lisan dan tangannya.” (Shahih Muslim No.57)

Bila orang tersebut tidak ridho dengan panggilan buruk itu, bisa jadi dia akan menuntut hak kehormatannya tersebut pada hari kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alai wasallam bersabda :

“Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku ialah (orang) yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala) amalan puasa, shalat dan zakat, tetapi dia pernah mencaci-maki orang ….……………………….., (hingga kalimat) lalu dia menanti orang ini dan menuntut untuk mengambil pahalanya (sebagai tebusan) dan orang itu mengambil pula pahalanya. Bila pahala-pahalanya habis sebelum selesai tuntutan dan ganti tebusan atas dosa-dosanya maka dosa orang-orang yang menuntut itu diletakkan di atas bahunya lalu dia dihempaskan ke api neraka." (HR. Muslim)

Semoga Allah memberikan kita kemampuan untuk menjaga lisan kita dari segala macam dosa dan noda.

PENYAKIT 4 – Prasangka Buruk

”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), sesungguhnya sebagian dari prasangka adalah dosa..” (QS. Al-Hujurat : 12)

Di dalam tafsir Ibnu Katsir, diterangkan bahwa makna ‘dzann’ atau perasangka pada ayat ini adalah “Menuding dan memandang buruk kepada Ahli keluarga, kerabat, atau manusia yang tidak pada tempatnya.” Lalu datang tafsiran lain yang lebih menjelaskan secara detail, di dalam tafsir Al-Qurthubi disebutkan, “Janganlah kamu menyangka buruk kepada orang baik yang kamu ketahui perbuatan baiknya secara dzahir”.

Allah melarang prasangka karena orang yang mudah berprasangka akan mudah untuk diadu domba. Padahal kita ketahui bersama bahwa musuh-musuh Islam selalu ‘berjuang’ siang dan malam untuk mengancurkan Islam, salah satu cara yang mereka gunakan adalah dengan politik adu domba ini.

Kita sekarang bisa saksikan sendiri bagaimana ada satu organisasi Islam menuding organisasi lainnya dengan tudingan yang belum tentu benar. Lalu apa yang terjadi? Sangat memungkinkan sekali anggota dari kedua organisasi tersebut akan bermusuhan, atau mungkin juga akan terjadi konflik yang jauh lebih besar lagi. Padahal bagaimana mungkin mereka bermusuhan padahal sama-sama dipandang sebagai organisasi yang memperjuangkan Islam…? Tentu saja bisa, jika mereka diadu domba.

Selain itu, perasangka buruk ini akan menghancurkan rasa ‘tsiqah’ atau kepercayaan kepada saudara sendiri. Lantas bagaimana bisa berjalan bersama dan akur bila rasa ciruga selalu ada di hati mereka..??

Bahkan Rasulullah mengatakan prasangka ini sebagai sebuah kedustaan yang paling dusta, “Jauhilah olehmu prasangka buruk, sebab prasangka buruk adalah ucapan yang paling bohong." (Muttafaq Alaih)

Rasulullah juga melarang kita untuk mengucapkan apa yang menjadi perasangka kita di dalam hati, “…Dan apabila kamu berperasangka buruk, maka hendaknya jangan kamu ucapkan…” (HR. Thabrani)

Namun ‘dzan’ atau prasangka ini adapula yang diperbolehkan, diantaranya adalah menyangka orang dengan prasangka yang baik (husnudzan). Dan juga prasangka yang diperintahkan kepada kita untuk mengikutinya, yaitu dalam masalah agama. Sebagaimana firman Allah :

“…Lalu berkatalah orang-orang yang memiliki ‘dzan’ bahwa mereka pasti akan bertemu Allah : ‘Betapa banyak kelompok yang sedikit dapat mengalahkan kelompok yang lebih banyak dengan idzin Allah. Dan Allah itu menyertai orang-orang yang sabar.’” (QS. Al-Baqarah : 249)

Di dalam Tafsir Fathul Qadir disebutkan, “Dan tidak termasuk ‘dzann’ (perasangka) yang dilarang yaitu prasangka yang diperintahkan (kepada seorang muslim) untuk mengikutinya daripada masalah-masalah agama. Yang mana Allah diibadahi menggunakan ‘dzann’ itu. Bahkan jumhur ‘ulama (mayoritas ulama) mewajibkan untuk beramal dengannya.”

Contoh dzann dalam masalah agama ini adalah hadits ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu orang saja di periwayat awalnya (yaitu para sahabat Rasul). Jadi selama hadits ahad itu memiliki riwayat yang shahih dan kuat, baik dari jalur periwayat yang jujur maupun matan (isi) hadits yang sesuai dengan dasar agama, maka seorang muslim harus mengambil hadits ahad itu sebagai pegangan.

Misalnya saja hadits pertama dalam hadits Arba’in yang berbunyi, “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niat-niatnya…..”. Hadits ini walaupun hadits ahad, namun dia merupakan hadits yang shahih dan kuat dan diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim secara ittifaq (serupa sanad dan matannya).


(bersambung)

0 comments:

Ketika Rasulullah berkunjung ke surga Allah bersama malaikat Jibril, ketika itu Rasulullah mendengar suara yang begitu besar, suara detakan yang membuat beliau bertanya kepada Jibril,"Wahai Jibril, suara siapakah itu?" Malaikat Jibril pun menjawab,"Suara umatmu wahai Rasul Allah". Rasul pun bingung dan bertanya lagi,"Umatku yang bagaimana?" Jibril pun menjawab,"Umatmu yang selalu melangkahkan kakinya ke rumah Allah" Subhanallah.... Anda mau??? FAKTA yang ada: Jarang antara kita bergerak hatinya untuk ke Masjid tuk shalat berjama'ah khususnya para REMAJA yang terlena oleh perasaan dan kesenangan dunia.