Pesan Sahabat
Our Bookmark
Categories
- Al-Qur'an Online (1)
- Aplikasi Ponsel Islami (1)
- Artikel (27)
- Kabar Islami (1)
- Kegiatan ROHIS FURQAN Smakenza (2)
- Kisah Islami (16)
- Remaja Islami (2)
- Renungan Muslim (6)
- Software Islami (1)
- Tentang Kami (3)
- Tips 'n Trik Islami (6)
- Warna Warni (1)
Agenda Kami
Jumat, 15 April 2011
14.36 | Posted by
Unknown
"Dan diantara manusia ada yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman itu amat sangat cintanya kepada Allah..." (QS. Al-Baqarah : 165)
Karakter cinta itu mirip seperti karekteristik iman, yaitu dibuktikan dengan perbuatan. Oleh karenanya sebagai seorang muslim kita harus menunjukkan bukti cinta kita kepada Allah. Bagaimana caranya? Berikut ini akan kita bahas secara singkat.
Cinta itu memang fitrah karena Allah sudah menanamkannya pada jiwa semenjak dia dilahirkan. Namun tentu yang menjadi pertanyaan, apakah cinta itu sudah benar atau belum..? Kemanakah harus kita tujukan rasa cinta itu, apa hanya untuk satu objek atau bisa mencintai banyak hal dalam waktu bersamaan? Lalu seberapa besar porsi cinta yang harus diberikan.
Nah yang pertama, dan menjadi dasar dari semua keyakinan kita. Dalam Islam, kecintaan kepada Allah itu harus diletakkan diatas segalanya, berdasarkan ayat yang telah kita baca diatas. Bukan berarti kita tidak boleh mencintai hal lainnya seperti orang tua, suami, istri, saudara seiman, binatang peliharaan, dsb. Allah tidak melarang itu, namun Allah meminta kita agar kita mampu memanage cinta kita pada hal lainnya agar tidak menerabas dan melangkahi cinta kepada ALLAH.
Bagaimana caranya, ayat berikut akan menjelaskannya, "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu itu menghalangimu daripada mengingat Allah. Barangsiapa yang melakukan itu maka mereka itulah orang-orang yang rugi." (QS. Al-Munafiqun : 9)
Dapat kita simpulkan, bahwa rasa cinta kepada anak dan harta itu sudah alami berada pada diri seseorang dan tidak dilarang. Namun disisi lain, Allah melarang kita untuk melupakan Allah dan melalaikan kita dari ibadah. Lihatlah contoh indah bagaimana Nabi Ibrahim 'alaihissalam yang rela mengorbankan anaknya Ismail untuk memenuhi perintah Allah, itulah bukti cinta seorang Nabi yang telah digelari dengan khalilullah (kekasih Allah).
Begitu juga dengan Nabi Ismail yang rela mengorbankan nyawanya untuk disembelih (walau rencana itu batal) demi menjalankan perintah Allah. Bukti-bukti cinta seperti inilah yang belum pernah ada bandingannya di dunia ini.
Contoh lainya yang sering kita temui, misalkan pada saat adzan dikumandangkan namun berbarengan dengan penayangan sebuah film yang sangat menarik sekali. Nah, manakah yang akan dikedepankan? Mendatangi masjid untuk shalat berjamaah atau tetap memilih bertahan di depan televisi..? Inilah yang disebut ujian iman, tapi saya lebih senang menyebutnya sebagai ujian cinta.
Contoh lainnya, ketika Allah melarang kita untuk mendekati zina "Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah kekejian dan seburuk-buruknya jalan." (QS. Al-Isra : 32)
Namun di sisi lain, pintu itu terbuka untuk kita dengan pacaran misalnya. Bukan hanya zina hakiki berupa hubungan diluar nikah, namun juga berupa zina-zina lainnya yang mungkin terkadang kita lakukan tanpa sadar.
"Zina kedua mata ialah memandang, zina lisan (lidah) ialah mengucapkan, sedangkan jiwa berharap dan berkeinginan dan kemaluanlah yang akan membenarkan atau mendustakan hal itu." (HR. Muslim)
Jadi kesimpulannya, cinta kita kepada Allah akan dibuktikan melalui ujian-ujian ini. Apakah kita mau meloloskan diri kita atau mau membuatnya tereliminasi itu semua terserah kita.
Sekali lagi saya tidak pernah mengatakan bahwa cinta kepada lawan jenis (berkaitan dengan tema pacaran ini) itu dilarang, malah Allah sangat memerintahkan manusia untuk melestarikan rasa cinta ini. Namun yang perlu digaris bawahi adalah, Allah telah meletakkan cinta itu di dalam pernikahan, bukan pada zina. Itulah yang kita sebut, "Mencintai seseorang karena Allah".
Terakhir sebagai penutup, Allah dan Rasul-Nya mengingatkan kita semua, bila kita memilih untuk berhasil dalam ujian ini, maka Allah telah menyiapkan sebuah hadiah spesial untuk kita semua.
"Ada tiga hal, barang siapa mengamalkannya maka ia dapat menemukan manisnya iman, yaitu orang yang lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya daripada yang lain, yang mencintai orang lain hanya karena Allah, dan yang tidak suka kembali ke dalam kekufuran (setelah Allah menyelamatkannya) sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke dalam neraka." (HR. Muslim)
Wallahu a'lam..
Annu'aimy, 12 April 2011
'Asa (Sebuah Harapan)
Karakter cinta itu mirip seperti karekteristik iman, yaitu dibuktikan dengan perbuatan. Oleh karenanya sebagai seorang muslim kita harus menunjukkan bukti cinta kita kepada Allah. Bagaimana caranya? Berikut ini akan kita bahas secara singkat.
Cinta itu memang fitrah karena Allah sudah menanamkannya pada jiwa semenjak dia dilahirkan. Namun tentu yang menjadi pertanyaan, apakah cinta itu sudah benar atau belum..? Kemanakah harus kita tujukan rasa cinta itu, apa hanya untuk satu objek atau bisa mencintai banyak hal dalam waktu bersamaan? Lalu seberapa besar porsi cinta yang harus diberikan.
Nah yang pertama, dan menjadi dasar dari semua keyakinan kita. Dalam Islam, kecintaan kepada Allah itu harus diletakkan diatas segalanya, berdasarkan ayat yang telah kita baca diatas. Bukan berarti kita tidak boleh mencintai hal lainnya seperti orang tua, suami, istri, saudara seiman, binatang peliharaan, dsb. Allah tidak melarang itu, namun Allah meminta kita agar kita mampu memanage cinta kita pada hal lainnya agar tidak menerabas dan melangkahi cinta kepada ALLAH.
Bagaimana caranya, ayat berikut akan menjelaskannya, "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu itu menghalangimu daripada mengingat Allah. Barangsiapa yang melakukan itu maka mereka itulah orang-orang yang rugi." (QS. Al-Munafiqun : 9)
Dapat kita simpulkan, bahwa rasa cinta kepada anak dan harta itu sudah alami berada pada diri seseorang dan tidak dilarang. Namun disisi lain, Allah melarang kita untuk melupakan Allah dan melalaikan kita dari ibadah. Lihatlah contoh indah bagaimana Nabi Ibrahim 'alaihissalam yang rela mengorbankan anaknya Ismail untuk memenuhi perintah Allah, itulah bukti cinta seorang Nabi yang telah digelari dengan khalilullah (kekasih Allah).
Begitu juga dengan Nabi Ismail yang rela mengorbankan nyawanya untuk disembelih (walau rencana itu batal) demi menjalankan perintah Allah. Bukti-bukti cinta seperti inilah yang belum pernah ada bandingannya di dunia ini.
Contoh lainya yang sering kita temui, misalkan pada saat adzan dikumandangkan namun berbarengan dengan penayangan sebuah film yang sangat menarik sekali. Nah, manakah yang akan dikedepankan? Mendatangi masjid untuk shalat berjamaah atau tetap memilih bertahan di depan televisi..? Inilah yang disebut ujian iman, tapi saya lebih senang menyebutnya sebagai ujian cinta.
Contoh lainnya, ketika Allah melarang kita untuk mendekati zina "Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah kekejian dan seburuk-buruknya jalan." (QS. Al-Isra : 32)
Namun di sisi lain, pintu itu terbuka untuk kita dengan pacaran misalnya. Bukan hanya zina hakiki berupa hubungan diluar nikah, namun juga berupa zina-zina lainnya yang mungkin terkadang kita lakukan tanpa sadar.
"Zina kedua mata ialah memandang, zina lisan (lidah) ialah mengucapkan, sedangkan jiwa berharap dan berkeinginan dan kemaluanlah yang akan membenarkan atau mendustakan hal itu." (HR. Muslim)
Jadi kesimpulannya, cinta kita kepada Allah akan dibuktikan melalui ujian-ujian ini. Apakah kita mau meloloskan diri kita atau mau membuatnya tereliminasi itu semua terserah kita.
Sekali lagi saya tidak pernah mengatakan bahwa cinta kepada lawan jenis (berkaitan dengan tema pacaran ini) itu dilarang, malah Allah sangat memerintahkan manusia untuk melestarikan rasa cinta ini. Namun yang perlu digaris bawahi adalah, Allah telah meletakkan cinta itu di dalam pernikahan, bukan pada zina. Itulah yang kita sebut, "Mencintai seseorang karena Allah".
Terakhir sebagai penutup, Allah dan Rasul-Nya mengingatkan kita semua, bila kita memilih untuk berhasil dalam ujian ini, maka Allah telah menyiapkan sebuah hadiah spesial untuk kita semua.
"Ada tiga hal, barang siapa mengamalkannya maka ia dapat menemukan manisnya iman, yaitu orang yang lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya daripada yang lain, yang mencintai orang lain hanya karena Allah, dan yang tidak suka kembali ke dalam kekufuran (setelah Allah menyelamatkannya) sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke dalam neraka." (HR. Muslim)
Wallahu a'lam..
Annu'aimy, 12 April 2011
'Asa (Sebuah Harapan)
Labels:
Artikel,
Remaja Islami
|
0
comments
Kamis, 14 April 2011
20.00 | Posted by
Unknown
Kisah nyata ini terjadi di salah sebuah daerah di Yaman. Kisah penderitaan dan kepahitan yang dilalui oleh penduduk Gaza tersebar ke seantero dunia. Semua orang marah, benci, dendam dan sedih. Dimana korban kebanyakan adalah anak-anak kecil tak berdosa yang menjadi korban muntahan peluru sehingga darah membasah bumi tanpa henti.
Tragedi dahsyat ini juga sampai juga ke telinga seorang perempuan tua yang hidup miskin di salah sebuah kampung di Yaman. Sama seperti orang lain, dia juga turut sedih dan pilu sehingga berurai air mata. Lantas suatu hari, dia berusaha sekuat upaya untuk mencoba membantu sekadar semampunya. Kebetulan , ‘harta’ yang dia punya adalah seekor sapi tua, terlalu uzur, kurus dan sudah tidak bermaya.
Dengan semangat tinggi dan perasaan simpati amat sangat, dia berniat menyedekahkan Sapinya itu kepada penduduk Gaza lalu berjalan kaki dari rumah pergi ke salah sebuah masjid di Yaman sambil memegang sapi tunggal kesayangannya itu. Kebetulan hari itu Jumaat dan para jemaah sudah mengerumuni pekarangan masjid
untuk melaksanakan ibadat tersebut.
Ketika itu, betapa ramai yang melihat dan memperhatikan perempuan tua nan miskin dengan sapinya yang berada di sisi luar masjid. Ada yang mengangguk, ada yang menggeleng kepala. Tak terkecuali ada juga yang tersenyum sinis, tertawa, mengejek melihat perempuan miskin yang setia berdiri di sisi sapinya.
Masa berlalu, jemaah masjid walaupun khusyuk mendengar khutbah imam namun sesekali memperhatikan dua mahkhluk tuhan itu. Perempuan dan sapi itu masih di situ yang tanpa rasa malu atau segan diraut wajahnya.
Setelah imam turun dari mimbar, solat Jumaat kemudian dilakukan, biar dibakar terik mentari dan peluh menitis dan memercik di muka, perempuan dan sapi tua itu masih saja di situ.
Segera setelah jemaah selesai solat dan berdoa, tiba-tiba perempuan itu dengan tergesa-gesa menarik sapi itu membawanya ke depan pintu masjid sambil menanti dengan penuh sabar tanpa mempedulikan jemaah yang keluar. Ramai juga orang yang tidak beranjak dan perasaan ingin tahu, apa yang bakal dilakukan oleh perempuan tua itu.
Tatkala imam masjid keluar, perempuan tua itu bingkas berkata : ”Wahai imam, aku telah mendengar kisah sedih penduduk di Gaza. Aku seorang yang miskin tetapi aku bersimpati dan ingin membantu. Sudilah kau terima satu-satunya sapi yang ku punyai untuk dibawa ke Gaza, untuk di berikan kepada penduduk di sana.”
Gaduh seketika orang yang berada di masjid itu. Imam kaget dengan permintaan perempuan itu namun keberatan untuk menerima. Ya, bagaimana membawa sapi tua itu ke Gaza? Kemudian para jemaah mulai bercakap-cakap. Ada yang mengatakan tindakan itu tidak munasabah apalagi sapi itu sudah tua dan tiada harga.
“Tolonglah.. bawalah sapi ini ke Gaza. Inilah saja yang aku punya. Aku ingin benar membantu mereka,” ulang perempuan yang tidak dikenali itu. Imam tadi masih keberatan.Masing-masing jemaah berkata-kata dan berbisik antara satu sama lain. Semua pandangan tertumpu kepada perempuan dan sapi tuanya itu.
Mata perempuan tua yang miskin itu sudah mulai berkaca dan berair namun tetap tidak beranjak dan terus merenung ke arah imam tersebut. Sunyi seketika suasana. Tiba-tiba muncul seorang jemaah lalu bersuara mencetuskan idea: ”Tak mengapalah, biar aku beli sapi perempuan ini dengan harga 10,000 riyal dan bawa uang itu kemudian sedekahkanlah kepada penduduk di Gaza.
Imam kemudian nampak setuju. Perempuan miskin tua itu kemudian menyeka air matanya yang sudah tumpah. Dia membisu namun sepertinya setuju dengan pendapat jemaah itu.
Tiba-tiba bangkit pula seorang anak muda, memberi pandangan yang jauh lebih hebat lagi: ”Bagaimana kalau kita rama-ramai membuat tawaran tertinggi sambil bersedekah untuk membeli sapi ini dan duit nya nanti diserahkan ke Gaza?”
Perempuan itu terkejut, termasuk imam itu juga. Rupa-rupanya cetusan anak muda ini diterima semua orang. Kemudian dalam beberapa menit para jemaah berebut-rebut menyedekahkan uang mereka untuk dikumpulkan dengan cara lelang tertinggi.
Ada yang mulai menawar dari 10,000 ke 30,000 riyal dan berlanjutan untuk seketika. Suasana pekarangan masjid di Yaman itu menjadi riuh selama proses lelang sapi tersebut. Akhirnya sapi tua, kurus dan tidak bermaya milik perempuan tua miskin itu dibeli dengan harga 500,000 riyal, setelah itu uang diserahkan kepada imam masjid, semua sepakat membuat keputusan itu, kemudian salah seorang jemaah berbicara kepada perempuan tua itu.
“Kami telah melelang sapi kamu dan telah mengumpulkan uang sejumlah 500,000 riyal untuk membeli sapi itu.
“Akan tetapi kami telah sepakat, uang yang terkumpul tadi diserahkan kepada imam untuk disampaikan kepada penduduk Gaza dan sapi itu kami hadiahkan kembali kepada kamu,” katanya sambil memperhatikan perempuan tua nan miskin itu yang kembali meneteskan air mata…gembira.
Tanpa diduga, Allah mentakdirkan segalanya, niat perempuan miskin itu untuk membantu meringankan beban penderitaan penduduk Palestina akhirnya tercapai dan dipermudahkan sehingga terkumpul uang yang banyak tanpa kehilangan “harta” satu-satunya yang ada . Subhanallah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan amal-amal kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan niat kalian.” (shahih Muslim dan lainnya)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Barangsiapa yg bersedekah (walau) sebesar kurma dari usaha yg baik, dan Allah tidak menerima kecuali yg baik, dan Sungguh Allah swt menerimanya dg sambutan hangat, lalu melipat gandakannya untuk orang itu seperti kalian mengasuh bayi yg disusuinya, hingga sebesar gunung” (Shahih Bukhari)
Hikmah dari kisah ini adalah segala niat murni yang baik senantiasa mendapat perhitungan dan ganjaran Allah apalagi jika datang dari hati kecil seorang yang miskin yang mau membantu umat islam yang menderita akibat dizalimi rejim zionis israel, biarpun diri serba payah dan serba kekurangan. sesuai dengan Firman Allah Ta’ala,
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikanbisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An Nisa’ [4] :114)
Semoga bermanfaat…….
(Kisah ini di ambil dari Timbalan Mursyidul Am PAS Dato’ Haron Din kepada Harakah daily melalui kisah nyata yang di terbitkan di sebuah majalah Arab)
Labels:
Kisah Islami
|
0
comments
Senin, 11 April 2011
20.00 | Posted by
Unknown
Janganlah kalian memusingkan rezeki, sebab upaya rezeki mencari kalian lebih keras daripada upaya kalian mencarinya. Jika kalian telah memperoleh rezeki hari ini, janganlah kalian memusingkan rezeki besok, sebagaimana kalian tidak memusingkan rezeki kemarin. Sebab kalian tidak akan tahu apakah kalian akan dapat hidup sampai esok hari.
Jika kalian telah mengenal Allah Azza wa Jalla, kalian sibuk denganNya dan membuatmu tidak berani meminta. Lidah orang yang mengenalNya tak kuasa untuk meminta.
Ikhlaslah Dalam Beramal
Ikhlaslah Dalam Beramal dan janganlah kalian melihat amal yang telah kalian perbuat, serta jangan mengharap balasan dari mahluk dan Khalik (Tuhanmu). Beramallah karena mengharap ridha Allah semata, bukan karena kenikmatanNya. Carilah keridhaannya sampai Dia memberikannya.
Jika telah meraih keridhaanNya, kalian berhak mendapatkan surgaNya didunia ini dan di akhirat kelak. Didunia, kalian dekat denganNya, di akhirat kalian memandangNya dan menikmati pahala yang dijanjikanNya.
Jika kalian telah mengenal Allah Azza wa Jalla, kalian sibuk denganNya dan membuatmu tidak berani meminta. Lidah orang yang mengenalNya tak kuasa untuk meminta.
Ikhlaslah Dalam Beramal
Ikhlaslah Dalam Beramal dan janganlah kalian melihat amal yang telah kalian perbuat, serta jangan mengharap balasan dari mahluk dan Khalik (Tuhanmu). Beramallah karena mengharap ridha Allah semata, bukan karena kenikmatanNya. Carilah keridhaannya sampai Dia memberikannya.
Jika telah meraih keridhaanNya, kalian berhak mendapatkan surgaNya didunia ini dan di akhirat kelak. Didunia, kalian dekat denganNya, di akhirat kalian memandangNya dan menikmati pahala yang dijanjikanNya.
Labels:
Artikel,
Tips 'n Trik Islami
|
0
comments
Kamis, 07 April 2011
20.00 | Posted by
Unknown
Tak terhitung entah berapa banyak doktrin agama yang memerintahkan kita agar senantiasa menjaga lidah. Tentu, bukan karena bahaya lidah itu sendiri. Melainkan, karena aktivitas yang dilakukan lidah. Tak terkecuali juga dua kebutuhan mendasar sekaligus terpenting bagi seorang manusia terhadap lisan, makan dan minum.
Namun, besarnya manfaat lidah, besar pula bahayanya. Bukan hanya ketika berbicara saja, saat diam pun lidah masih bisa menimbulkan dosa. Dahsyat bukan? Saat lidah berbicara batil dan keji, saat itu pulalah dosa mengalir kepada pemilik lidah.
Bila diperhatikan, perkataan yang diucapkan lidah, tak terlepas dari empat hal, yakni seluruhnya mengandung mudharat, seluruhnya mengandung manfaat, seluruhnya mengandung manfaat dan mudharat, dan sama sekali tidak mengandung manfaat maupun mudharat. Tentu saja, yang ideal dan diharapkan yang seluruhnya mengandung manfaat. Tapi namanya lidah tak bertulang, sudah barang tentu manusia berpotensi besar untuk melakukan khilaf (al-Insan mahal al-khata' wa al-Nis-yan).
Betapa banyak orang yang tergelincir sekaligus dirugikan akibat perbuatan dusta. Di samping merugikan dirinya, juga merugikan orang lain. Diam juga bisa mengandung kebatilan, sekalipun diam itu, katanya, emas. Kapan? ketika diam dengan sengaja melihat kemungkaran, tanpa ada hasrat untuk menegurnya. Jadi, bicara dan diam sama-sama bersinergi untuk dosa, jika tidak pintar-pintar mengatur lidah.
Di era media informasi dan globalisasi, banyak sekali orang menganggap sepele masalah lidah, mulai dari ringan menggosip, gemar menggunjing, dan bahkan terbiasa memfitnah orang lain. Semuanya dilakukan tanpa ada perasaan risih dan malu. Cuek, itulah kata mereka. Bukti konkrit, perhatikan saja pagi-pagi sekali acara di televisi sudah menyuguhkan buat kita bermacam ragam gunjingan para selebritis dan tokoh. Bahkan, terkadang bahasa yang digunakan presenter mengandung bau pornografi. Malu bercampur benci mendengarkannya.
Apa produsernya tidak memikirkan, kalau aktivitas gosip yang dilakukan bisa menjelma menjadi fitnah, pencemaran nama baik, atau bahkan tindak pidana lain yang dapat digugat sacara hukum? Sepertinya paham, tapi tetap saja ditayangkan. Bahkan mudharat yang lebih besar lagi bisa terjadi, ketika sibuk membeberkan kasus perceraian dua insan selebritis, yang akhirnya bukan malah mendamaikan, tapi justru menjadi makin melebarnya jurang perpecehan dan bahkan berbuntut permusuhan.
Intinya, pembicaraan yang digosipkan nyaris tidak ada yang dapat diambil hikmah dan teladannya. Tak lain dari tujuan acara tersebut hanya menjanjikan hiburan, konsumsi, bahkan tak jarang aksi eksploitasi atas derita yang menimpa orang lain dan semacamnya. Ya, itulah hiburan media yang garing menurut syari'at.
Menggunjing orang adalah membuka aib sesama yang dilarang. Pelarangnya pun disitir di dalam Al-Qur'an, "... Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain..." (QS. Al-Hujarat [49] : 12). Menceritakan aib orang yang jelas-jelas dilakukan adalah dosa besar, apalagi jika yang digembor-gemborkan itu ternyata tidak pernah dilakukan. Logikanya, dosanya tentunya lebih besar, karena sudah masuk dalam kategori fitnah dan adu domba, yang tak lain pelakunya sudah sah mendapatkan 'cap' orang yang bakal menghuni neraka. Alangkah bijaksana, bila rajin membaca berulang-ulang dan merenungkan kalimat selanjutnya dari ayat tersebut, "Sukakah kamu memakan daging saudaramu yang sudah mati?" Tujuannya, agar selalu waspada dalam berbicara.
Karena itu, saat berpuasa seperti sekarang ini, bukan saja momen untuk menahan diri dari makan dan minum. Tapi juga menjadi momentum untuk menahan diri dari menggunjing dan membuka aib orang.
Namun, besarnya manfaat lidah, besar pula bahayanya. Bukan hanya ketika berbicara saja, saat diam pun lidah masih bisa menimbulkan dosa. Dahsyat bukan? Saat lidah berbicara batil dan keji, saat itu pulalah dosa mengalir kepada pemilik lidah.
Bila diperhatikan, perkataan yang diucapkan lidah, tak terlepas dari empat hal, yakni seluruhnya mengandung mudharat, seluruhnya mengandung manfaat, seluruhnya mengandung manfaat dan mudharat, dan sama sekali tidak mengandung manfaat maupun mudharat. Tentu saja, yang ideal dan diharapkan yang seluruhnya mengandung manfaat. Tapi namanya lidah tak bertulang, sudah barang tentu manusia berpotensi besar untuk melakukan khilaf (al-Insan mahal al-khata' wa al-Nis-yan).
Betapa banyak orang yang tergelincir sekaligus dirugikan akibat perbuatan dusta. Di samping merugikan dirinya, juga merugikan orang lain. Diam juga bisa mengandung kebatilan, sekalipun diam itu, katanya, emas. Kapan? ketika diam dengan sengaja melihat kemungkaran, tanpa ada hasrat untuk menegurnya. Jadi, bicara dan diam sama-sama bersinergi untuk dosa, jika tidak pintar-pintar mengatur lidah.
Di era media informasi dan globalisasi, banyak sekali orang menganggap sepele masalah lidah, mulai dari ringan menggosip, gemar menggunjing, dan bahkan terbiasa memfitnah orang lain. Semuanya dilakukan tanpa ada perasaan risih dan malu. Cuek, itulah kata mereka. Bukti konkrit, perhatikan saja pagi-pagi sekali acara di televisi sudah menyuguhkan buat kita bermacam ragam gunjingan para selebritis dan tokoh. Bahkan, terkadang bahasa yang digunakan presenter mengandung bau pornografi. Malu bercampur benci mendengarkannya.
Apa produsernya tidak memikirkan, kalau aktivitas gosip yang dilakukan bisa menjelma menjadi fitnah, pencemaran nama baik, atau bahkan tindak pidana lain yang dapat digugat sacara hukum? Sepertinya paham, tapi tetap saja ditayangkan. Bahkan mudharat yang lebih besar lagi bisa terjadi, ketika sibuk membeberkan kasus perceraian dua insan selebritis, yang akhirnya bukan malah mendamaikan, tapi justru menjadi makin melebarnya jurang perpecehan dan bahkan berbuntut permusuhan.
Intinya, pembicaraan yang digosipkan nyaris tidak ada yang dapat diambil hikmah dan teladannya. Tak lain dari tujuan acara tersebut hanya menjanjikan hiburan, konsumsi, bahkan tak jarang aksi eksploitasi atas derita yang menimpa orang lain dan semacamnya. Ya, itulah hiburan media yang garing menurut syari'at.
Menggunjing orang adalah membuka aib sesama yang dilarang. Pelarangnya pun disitir di dalam Al-Qur'an, "... Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain..." (QS. Al-Hujarat [49] : 12). Menceritakan aib orang yang jelas-jelas dilakukan adalah dosa besar, apalagi jika yang digembor-gemborkan itu ternyata tidak pernah dilakukan. Logikanya, dosanya tentunya lebih besar, karena sudah masuk dalam kategori fitnah dan adu domba, yang tak lain pelakunya sudah sah mendapatkan 'cap' orang yang bakal menghuni neraka. Alangkah bijaksana, bila rajin membaca berulang-ulang dan merenungkan kalimat selanjutnya dari ayat tersebut, "Sukakah kamu memakan daging saudaramu yang sudah mati?" Tujuannya, agar selalu waspada dalam berbicara.
Karena itu, saat berpuasa seperti sekarang ini, bukan saja momen untuk menahan diri dari makan dan minum. Tapi juga menjadi momentum untuk menahan diri dari menggunjing dan membuka aib orang.
Labels:
Artikel,
Tips 'n Trik Islami
|
0
comments
Senin, 04 April 2011
20.00 | Posted by
Unknown
Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang di MILIKI nya. Rani, sebut saja begitu namanya, kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip seorang mantan Presiden Amerika.
Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran. Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ''selevel'' sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.
Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka.Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ''alif'' dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.
Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal?'' Dengan sigap Rani menjawab, ''Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!'' Ucapannya itubetul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.
Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak.
''Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya. Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut
dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ''memahami'' orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.
Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ''Alif ingin Bunda mandikan,'' ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan
keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.
Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ''Bunda, mandikan aku!'' kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.
Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ''Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.'' Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah SWT sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya. Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.
Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ''Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,'' ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis. Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami
masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kaliRani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?'' Saya diam saja.
Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini konsekuensi sebuah pilihan,'' lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.
Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..'' Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.
-- Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.
-- Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat.
-- Sering kali orang sibuk 'di luaran', asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang-orang di dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja dulu.
-- Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.
-- Pelajaran yang sangat menyedihkan.
Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran. Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ''selevel'' sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.
Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka.Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ''alif'' dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.
Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal?'' Dengan sigap Rani menjawab, ''Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!'' Ucapannya itubetul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.
Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak.
''Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya. Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut
dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ''memahami'' orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.
Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ''Alif ingin Bunda mandikan,'' ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan
keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.
Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ''Bunda, mandikan aku!'' kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.
Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ''Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.'' Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah SWT sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya. Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.
Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ''Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,'' ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis. Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami
masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kaliRani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?'' Saya diam saja.
Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini konsekuensi sebuah pilihan,'' lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.
Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..'' Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.
-- Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.
-- Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat.
-- Sering kali orang sibuk 'di luaran', asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang-orang di dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja dulu.
-- Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.
-- Pelajaran yang sangat menyedihkan.
Labels:
Kisah Islami,
Renungan Muslim
|
0
comments
Langganan:
Postingan (Atom)